"Habis, Mas?" istilah seorang pengunjung
berdasarkan bangku depan sembari mesem-mesem diikuti 2 pengunjung lain yg
menoleh. Ada 3 hidangan di depan saya, selain minuman & kuliner mini . Pertama, satu porsi mie kecil jumbo tanpa
kuah. Kedua, seporsi mie jumbo menggunakan kuah biasa. Dan ketiga, seporsi mie
monster dengan kuah komplit. Yang terakhir ini, saking besarnya lebih mirip
lelucon daripada makanan. Tidak heran jika pengunjung lain tersenyum geli.
Siang itu aku
bersama
Mas Jaya, fotografer YogYes, mengunjungi
Mie Ayam Medan Mahmud milik Pak Mahmud
& Bu Yuni, pasangan suami isteri yang dari menurut Medan. Usaha masakan ini
mereka rintis tahun 2011 dengan membuka tempat tinggal
makan pertama pada Jl. Tambak Bayan. Saat
itu mie ayam mereka tidak begitu tidak selaras menggunakan mie ayam
chinese-style lain: kuah terpisah; mie (yg mereka buat sendiri) lebih tipis,
kecil, dan berminyak dibanding mie ayam Wonosari; dan taburan ayam yang kering.
Hanya saja, mengamati norma pelanggannya yg seringkali nir puas menggunakan
hanya satu mangkuk mie, pemilik tempat tinggal
makan yang sekarang sudah membuka satu cabang lain di Jl. Kaliurang ini
tetapkan untuk sekalian saja menambah menu porsi besar . Dan keputusan ini
tidak tanggung-tanggung: menurut satu pilihan porsi, sebagai 5 pilihan porsi;
berdasarkan yg kecil & manusiawi hingga yang monster dan biadab.
Saat ini, Mie Ayam Mahmud sudah jadi household name bagi
mereka yang gemar mie ayam. Kebanyakan pelanggannya yang dulunya adalah
mahasiswa telah mencakup seluruh kalangan sekarang: bermobil, jalan kaki, tiba
sendiri, bergerombol, anak belia, orang tua. Semuanya datang & mengantre
pada depan meja kasir Bu Yuni dan menjelaskan pesanan mereka. Saking ramainya,
tujuh deret kios & satu pos ronda yang dipakai Mie Ayam Mahmud buat
menampung pelanggannya kadang-kadang nir cukup & mereka yang nir kebagian
tempat harus menunggu yang lain terselesaikan.
Ramainya Mie Ayam Mahmud tidak hanya lantaran porsinya yang
majemuk. Besar porsinya yang seakan tidak sebanding menggunakan harganya jua
merupakan daya tarik primer mie ayam ini. Selain itu, tempat tinggal makan ini juga menyediakan Mie Mahmud versi
goreng jika kita kurang senang dengan
mie panaskan. Dan jika ini belum relatif, makanan pelengkap yang disediakan
juga menambah daya tariknya. Ada acar & pangsit goreng, akan tetapi bakso
gorengnya yg terbuat dari kulit ikan tenggiri yg paling aku rekomendasikan. Dengan harga seribu rupiah perbiji,
kita bisa menikmati sensasi memakan pempek kulit orisinil Medan.
"Kenyanglah buat 5 hari," ujar seseorang Ibu yg
baru saja duduk di meja seberang. Saya cengengesan dan mulai mengunyah. Di pada
mangkuk berwarna merah muda yg dengan penuh usaha saya coba habiskan, ada
irisan ayam berwarna cokelat penuh bumbu, taoge, taburan bawang daun yang
memberi sensasi segar, dan mie yang begitu mie dan selalu mie. Menemani
santapan mie monster aku , selain bakso goreng pada atas, merupakan sawi yang
dijaga permanen bertekstur crunchy, pangsit rebus ayam, dan bakso ikan tenggiri
pada kuah kaldu bening. Kombinasi keseluruhannya membuat aku telah kenyang dan puas sebelum volume mie
pada pada mangkuk saya terlihat berkurang.
Sambil mengunyah, saya mulai berkeringat. Hawa siang itu
lembab dan panas, sehingga kios-kios tempat makan Mahmud yg nir menggunakan
kipas angin menjadi begitu gerah. Lalu, lalat mulai hinggap di mie yg sudah
setengah terlantar di depan saya. Saya dan Mas Jaya akhirnya memutuskan
beranjak. "Mas," panggil aku
pada keliru satu pelayan yang wara-wiri membawa nampan kayu berisi
piring kotor atau pesanan, "tolong bungkus." Di sini, kita mampu
membungkus porsi akbar yg nir sanggup kita habiskan, tetapi kita nir sanggup
membungkus sejak awal atau memakan satu porsi raksasa beramai-ramai.