Kamis, 01 November 2018

MIE AYAM MEDAN MAHMUD


"Habis, Mas?" istilah seorang pengunjung berdasarkan bangku depan sembari mesem-mesem diikuti 2 pengunjung lain yg menoleh. Ada 3 hidangan di depan saya, selain minuman & kuliner mini  . Pertama, satu porsi mie kecil jumbo tanpa kuah. Kedua, seporsi mie jumbo menggunakan kuah biasa. Dan ketiga, seporsi mie monster dengan kuah komplit. Yang terakhir ini, saking besarnya lebih mirip lelucon daripada makanan. Tidak heran jika pengunjung lain tersenyum geli.

Siang itu aku  bersama Mas Jaya, fotografer YogYes, mengunjungi Mie Ayam Medan Mahmud milik Pak Mahmud & Bu Yuni, pasangan suami isteri yang dari menurut Medan. Usaha masakan ini mereka rintis tahun 2011 dengan membuka tempat tinggal   makan pertama pada Jl. Tambak Bayan. Saat itu mie ayam mereka tidak begitu tidak selaras menggunakan mie ayam chinese-style lain: kuah terpisah; mie (yg mereka buat sendiri) lebih tipis, kecil, dan berminyak dibanding mie ayam Wonosari; dan taburan ayam yang kering. Hanya saja, mengamati norma pelanggannya yg seringkali nir puas menggunakan hanya satu mangkuk mie, pemilik tempat tinggal   makan yang sekarang sudah membuka satu cabang lain di Jl. Kaliurang ini tetapkan untuk sekalian saja menambah menu porsi besar . Dan keputusan ini tidak tanggung-tanggung: menurut satu pilihan porsi, sebagai 5 pilihan porsi; berdasarkan yg kecil & manusiawi hingga yang monster dan biadab.

Saat ini, Mie Ayam Mahmud sudah jadi household name bagi mereka yang gemar mie ayam. Kebanyakan pelanggannya yang dulunya adalah mahasiswa telah mencakup seluruh kalangan sekarang: bermobil, jalan kaki, tiba sendiri, bergerombol, anak belia, orang tua. Semuanya datang & mengantre pada depan meja kasir Bu Yuni dan menjelaskan pesanan mereka. Saking ramainya, tujuh deret kios & satu pos ronda yang dipakai Mie Ayam Mahmud buat menampung pelanggannya kadang-kadang nir cukup & mereka yang nir kebagian tempat harus menunggu yang lain terselesaikan.

Ramainya Mie Ayam Mahmud tidak hanya lantaran porsinya yang majemuk. Besar porsinya yang seakan tidak sebanding menggunakan harganya jua merupakan daya tarik primer mie ayam ini. Selain itu, tempat tinggal   makan ini juga menyediakan Mie Mahmud versi goreng jika kita kurang senang  dengan mie panaskan. Dan jika ini belum relatif, makanan pelengkap yang disediakan juga menambah daya tariknya. Ada acar & pangsit goreng, akan tetapi bakso gorengnya yg terbuat dari kulit ikan tenggiri yg paling aku  rekomendasikan. Dengan harga seribu rupiah perbiji, kita bisa menikmati sensasi memakan pempek kulit orisinil Medan.

"Kenyanglah buat 5 hari," ujar seseorang Ibu yg baru saja duduk di meja seberang. Saya cengengesan dan mulai mengunyah. Di pada mangkuk berwarna merah muda yg dengan penuh usaha saya coba habiskan, ada irisan ayam berwarna cokelat penuh bumbu, taoge, taburan bawang daun yang memberi sensasi segar, dan mie yang begitu mie dan selalu mie. Menemani santapan mie monster aku , selain bakso goreng pada atas, merupakan sawi yang dijaga permanen bertekstur crunchy, pangsit rebus ayam, dan bakso ikan tenggiri pada kuah kaldu bening. Kombinasi keseluruhannya membuat aku  telah kenyang dan puas sebelum volume mie pada pada mangkuk saya terlihat berkurang.

Sambil mengunyah, saya mulai berkeringat. Hawa siang itu lembab dan panas, sehingga kios-kios tempat makan Mahmud yg nir menggunakan kipas angin menjadi begitu gerah. Lalu, lalat mulai hinggap di mie yg sudah setengah terlantar di depan saya. Saya dan Mas Jaya akhirnya memutuskan beranjak. "Mas," panggil aku  pada keliru satu pelayan yang wara-wiri membawa nampan kayu berisi piring kotor atau pesanan, "tolong bungkus." Di sini, kita mampu membungkus porsi akbar yg nir sanggup kita habiskan, tetapi kita nir sanggup membungkus sejak awal atau memakan satu porsi raksasa beramai-ramai.

0 komentar:

Posting Komentar